Sabtu, 09 Juli 2011

Stroke

Stroke menurut WHO adalah suatu manifestasi klinis dari gangguan fungsi otak, baik fokal maupun global (menyeluruh), yang berlangsung cepat, berlangsung lebih dari 24 jam atau sampai menyebabkan kematian, tanpa penyebab lain selain gangguan vaskuler.
Stroke dapat dibagi menjadi stroke iskemik dan stroke hemoragik. Dari seluruh penderita stroke yang terdata, 80% merupakan jenis stroke iskemik sementara sisanya merupakan jenis stroke hemoragik. Stroke hemoragik dapat disebabkan oleh perdarahan intraserebral dan perdarahan subarakhnoid.
Stroke merupakan penyebab kematian ketiga terbesar di Amerika Serikat dan penyebab kelumpuhan neurologis tersering. setiap tahunnya di Amerika Serikat terdapat 750.000 kasus baru dan 150.000 diantaranya meninggal. insidensi meningkat seiring pertambahan umur, dengan umur tersering adalah 65 tahun, dan angka kejadian lebih sering pada pria dibandingkan wanita dengan ras Afrika-Amerika menempati urutan terbanyak menderita stroke.
Di Indonesia prevalensi stroke mencapai angka 8,3 per 1.000 penduduk. Daerah yang memiliki prevalensi stroke tertinggi adalah Nanggroe Aceh Darussalam (16,6 per 1.000 penduduk) dan yang terendah adalah Papua (3,8 per 1.000 penduduk). Dari 8,3 per 1.000 penderita stroke, 6 diantaranya telah didignosis oleh tenaga kesehatan. Hal ini menujukkan sekitar 72,3% kasus stroke di masyarakat telah terdiagnosis oleh tenaga kesehatan, namun angka kematian akibat stroke tetap tinggi. Data menunjukkan bahwa stroke menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian utama semua umur di Indonesia. Stroke, bersama-sama dengan hipertensi, penyakit jantung iskemik dan penyakit jantung lainnya, juga merupakan penyakit tidak menular utama penyebab kematian di Indonesia.

TINJAUAN PUSTAKA

3.1. DEFENISI
Pendarahan subarakhnoid adalah suatu keadaan yang ditandai dengan adanya darah pada rongga subarakhnoid yang disebabkan oleh proses patologis. Perdarahan subarakhnoid ditandai dengan adanya ekstravasasi darah ke rongga subarakhnoid yaitu rongga antara lapisan dalam (piamater) dan lapisan tengah (arakhnoid matter) yang merupakan bagian selaput yang membungkus otak (meninges).

3.2. EPIDEMIOLOGI
PSA menduduki 7-15% dari seluruh kasus GPDO (Gangguan Peredaran Darah Otak). Prevalensi kejadiannya sekitar 62% timbul pertama kali pada usia 40-60 tahun. Dan jika penyebabnya adalah MAV (malformasi arteriovenosa) maka insidensnya lebih sering pada laki-laki daripada wanita.

3.3. ETIOLOGI
Perdarahan subarakhnoid secara spontan sering berkaitan dengan pecahnya aneurisma (85%) akibat kerusakan dinding arteri pada otak. Dalam banyak kasus, PSA sering berkaitan dengan pendarahan aneurisma. Penelitian membuktikan aneurisma yang lebih besar kemungkinannya bisa pecah. Selanjunya 10% kasus dikaitkan dengan non aneurisma perimesencephalic hemoragik, dimana darah dibatasi pada daerah otak tengah. Aneurisma tidak ditemukan secara umum. 5% berikutnya berkaitan dengan kerusakan rongga arteri, gangguan lain yang mempengaruhi vessels, gangguan pembuluh darah pada sum-sum tulang belakang dan perdarahan berbagai jenis tumor.


3.4. PATOGENESIS
Perdarahan subarakhnoid (PSA) adalah suatu keadaan dimana terjadi perdarahan di ruang subarakhnoid yang timbul secara primer. Perdarahan subarachnoid (PSA) terjadi akibat pembuluh darah disekitar permukaan otak pecah, sehingga terjadi ekstravasasi darah ke ruang subarachnoid. Perdarahan subarachnoid umumnya disebabkan oleh rupturnya aneurisma sakular atau perdarahan dari arteriovenous malformation (AVM).
Perdarahan subarachnoid (PSA) disertai oleh meningitis aseptik dan gangguan aktifitas serebrovaskuler. Pada stroke hemoragik, defisit neurologis yang terjadi merupakan akibat dari perusakan jaringan otak oleh darah atau akibat adanya darah di dalam ruang subarakhnoid. Darah di dalam ruang subarakhnoid, khususnya di sisterna basalis, dapat menginduksi terjadinya vasospasme. Vasospasme yang berlanjut dapat menyebabkan terjadinya infark serebri sekunder, yang mengakibatkan semakin luasnya kerusakan jaringan otak.

3.5. GAMBARAN HISTOPATOLOGI
Penyebab tersering perdarahan subaracnoid spontan adalah rupturnya suatu aneurisma sakular. Dinding aneurisme sakular terdiri atas jaringan padat kaya kolagen yang berasal dari tunika intima dan adventisia pembuluh asal. Tunika media biasanya berakhir mendadak di leher aneurisma. Lumen aneurisma mungkin mengandung thrombus. Aneurisma dapat menekan struktur di dekatnya dan menimbulkan gejala yang berkaitan dengan efek masa local. Rupturnya aneurisma sakular biasanya terjadi di fundus yang berdidinding tipis. Bergantung pada lokasinya, rupture dapat menyebabkan perdarahan kedalam ruang subaracnoid dan parenkim otak disekitarnya. Infark parenkim otak juga dapat terjadi pada kasus perdarahan subaracnoid yang mungkin disebabkan akibat spasme arteri.
Malformasi arteriovena merupakan kelainan pembuluh darah congenital yang tersering di otak dan merupakan tipe yang berkaitan dengan perdarahan yang secara klinis signifikan.Secara makroskopis malformasi arteriovena tampak sebagai kumpulan pembuluh yang berkelok-kelok yang paling jelas terlihat selagi masih dipenuhi oleh darah. Secara mikroskopis berupa pembuluh dengan caliber beragam tersusun acak dan mencakup arteri, vena, serta bentuk transisi. Pembuluh darah ini dipisahkan oleh parenkim otak.


3.6. MANIFESTASI KLINIS
Manifestasi klinis dapat berupa nyeri kepala hebat, defisit neurologis fokal atau penurunan kesadaran. Penyebab stroke hemoragik di subarachnoid yang paling sering adalah ruptur AVM. Penderita dengan AVM sering mempunyai riwayat sakit kepala atau kejang sevblumnya.
Manifestasi Klinis Perdarahan subarachnoid (PSA) adalah sebagai berikut:
  • Onset penyakit berupa nyeri kepala mendadak seperti meledak, dramatis, berlangsung dalam 1 – 2 detik sampai 1 menit.
  • Vertigo, mual, muntah, banyak keringat, mengigil, mudah terangsang, gelisah dan kejang.
  • Dapat ditemukan penurunan kesadaran dan kemudian sadar dalam beberapa menit sampai beberapa jam.
  • Dijumpai gejala-gejala rangsang meningeal
  • Perdarahan retina berupa perdarahan subhialid merupakan gejala karakteristik perdarahan subarakhnoid.
  • Gangguan fungsi otonom berupa bradikardi atau takikardi, hipotensi atau hipertensi, banyak keringat, suhu badan meningkat, atau gangguan pernafasan.

3.7. KLASIFIKASI
Perdarahan subaraknoid merupakan 7-15% dari seluruh kasus Gangguan Peredaran Darah Otak (GDPO). Terbagi atas:
  1. Perdarahan Subaraknoidal spontan primer (spontan non-trauma dan non-hipertensif), yakni perdarahan bukan akibat trauma atau dari perdarahan intraserebral.
  2. Perdarahan Subaraknoidal sekunder, adalah perdarahan yang berasal dari luar subaraknoid, seperti dari perdarahan intraserebral atau dari tumor otak.
Menurut skala Botterell dan Hunt&Hess, perdarahan subarakhnoid dapat dibagi menjadi beberapa kelas (grade), yaitu:
Grade Gejala
1. Kelas I Asimptomatik atau sakit kepala ringan
2. Kelas II Sakit kepala sedang atau berat atau occulomotor palsy
3. Kelas III Bingung, mengantuk atau gejala fokal ringan
4. Kelas IV Stupor (respon terhadap rangsangan nyeri)
5. Kelas V Koma (postural atau tidak respon terhadap nyeri)

Kelas I dan II memiliki prognosis yang baik, kelas III memiliki prognosis yang menengah, kelas IV dan V memiliki prognosis yang buruk.

3.8. PROSEDUR DIAGNOSTIK
1. Anamnesa
Didalam anamnesa ada beberapa hal penting yang harus ditanyakan untuk menentukan diagnose pasien diantaranya: 13
- Kapan terjadinya gejala?
- Apakah gejala timbul secara perlahan-lahan atau tiba-tiba
- Apakah gejala terjadi saat istirahat atau saat beraktifitas?
- Apakah terdapat tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial?
Tanda-tanda peningkatan tekanan intracranial seperti sakit kepala, muntah proyektil, serat kejang.
- Apakah pasien pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya?
- Apakah ada anggota keluarga yang menderita hal yang sama?
- Apakah pasien memiliki factor resiko?

2. Pemeriksaan Fisik dan pemeriksaan Neurologis
Hal ini bertujuan untuk menilai gangguan fungsi saraf kranialis, tingkat kesadarn, kekuatan motorik dan ada tidaknya tanda perangsangan meningeal serta reflex yang meningkat. Pada pasien PSA biasanya dijumpai kaku kuduk positif dan kerniq yang positif yang merupakan ciri khas dari PSA dan digunakan untuk membedakan dengan PIS.

3. Pemeriksaan penunjang
  • Computed Tomography (CT), pada CT dapat dilihat distribusi darah, sehingga dapat dilihat lokasi aneurisma yang pecah. CT juga menunjukkan fokal intraparenkim atau perdarahan subdural, pembesaran ventrikel, aneurisma besar dan infark akibat vasospasme. Gambaran perdarahan pada CT scan berupa gambaran hiperdens.
  • Lumbar Puncture, pada PSA cairan CSF bercampur darah. Tekanan CSF biasanya tinggi dan kadar protein meningkat. Penampakan xantochromia dapat juga didapati setelah cairan serebrospinal disentrifugasi. Dapat juga dijumpai kadar glukosa yang rendah akibat meningitis kimiawi yang steril.
  • Angiografi digunakan untuk mendeteksi aneurisma dan lokasinya dikarenakan penyebab utama stroke hemoragik adalah aneurisma dan malformasi arteri vena. Angiografi dapat memastikan etiologi pasti.
  • Pemeriksaan penunjang lain seperti darah lengkap, kadar ureum, elektrolit, glukosa darah, foto toraks, dan EKG untuk melihat ada tidaknya factor resiko yang dapat memicu terjadinya stroke. Fungsi ginjal juga diperlukan untuk melihat apakah terdapat gangguan ginjal yang dapat menyebabkan hipertensi.

3.9. DIAGNOSIS BANDING
Terdapat bebrapa penyakit yang dapat didiagnosis banding dengan stroke hemoragik akibat perdarahan subarakhnoid, yaitu:
1. Stroke akibat perdarahan intrakranial
2. Stroke akibat malformasi arteriovena
3. Meningitis aseptic
4. Meningitis meningokokus
5. Trombosis arteri basilaris
6. Perdarahan serebelar
7. Aneurisma serebral
8. Thrombosis vena serebral
9. Hematoma epidural
10. Hidrosefalus
11. Migraine
12. Encephalitis
13. Transient Iskemik Attack
14. Temporal arteritis



3.10. PENATALAKSANAAN
Tujuan terapi adalah untuk mencegah kematian, memperbaiki penyebab pendarahan, meredakan gejala,untuk mengurangi nyeri, edema, tingkat keparahan vasospasme otak, meringankan mual dan muntah, mencegah kejang-kejang dan mencegah komplikasi.
1. Pedoman Tatalaksana
a. Penderita dengan tanda-tanda grade I atau II hunt and Hess PSA
  • Identifikasi yang dini dari nyeri kepala yang hebat merupakan petunjuk untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas
  • Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30˚ dalam ruangan dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu berikan oksigen 2-3 L/menit
  • Hati-hati pemakaian obat-obatan sedative
  • Pasang infuse i.v. diruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-kelainan neurologis yang timbul
b. Penderita dengan grade III, IV atau V Hunt and Hess PSA
  • Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di ruang gawat darurat
  • Intubasi endotrakeal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalan napas yang adekuat
  • Bila ada tanda-tanda herniasi maka lakukan intubasi
  • Hindari pemakaian sedative yang berlebihan karena akan menyulitkan penilaian status neurologis
2. Tindakan untuk mencegah perdarahn ulang setelah PSA
  • Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan pada keadaan klinis tertentu, contohnya: pasien dengan risiko rendah untuk terjadinya vasospasme atau memberi efek bermanfaat pada operasi yang ditunda.
3. Operasi pada aneurisma yang rupture
  • Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan ulang setelah ruptur aneurisma pada PSA
  • Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk perdarahan ulang. Operasi obliterasi aneurisma secara komplit dianjurkan kapan saja bila memungkinkan.
2. Tatalaksana pencegahan vasospasme
  • Pemberian nimodipin, dimulai dengan dosis 1-2mg per jam iv pada hari ke-3 atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Ini terbukti dapat memperbaiki defisit neurologi yang ditimbulkan vasospasme.
  • Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujan mempertahankan serebral perfusion pressure, sehingga dapat mengurangi terjadinya iskemik serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan embolisasi atau clipping.
  • Angioplasti transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional
3. Antifibrinolitik
Obat-obat antifibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang sering dipakai adalah epsilon amino-caproid acid dengan dosis 36 gram/ hari atau tranexamid acid dengan dosis 6-12 gr/hari.
4. Antihipertensi
  • Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mgHg atau tekanan darah sistolik tidak lebih 160 dan tekanan darah diastolik 90 mmHg.
  • Obat-obat antihipertensi diberi bila tekanan darah sistolik dan tekanan darah diastolik melebihi batasannya dan MAP di atas 130mmHg.
  • Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetolol (IV) 0,5-2mg/menit sampai mencapai maksimum 20 mg/jam atau Esmolol infus dosisnya 50-200 mcg/kg/menit
5. Kejang
Hanya dipertimbangkan pada pasien yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurysme arteri serebri media, dan kesadaran yang tidak baik. Akan tetapi untuk menghindari resiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau iv. Dosis inisial 100 mg oral atau iv 3x/hari. Dosis maintenance 300-400mg oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepin digunakan untuk menghentikan kejang.

6. Hidrosefalus
a. Akut
Dapat terjadi setelahhari pertama, namun lebih sering dalam 7hari pertama. Dianjurkan untuk ventrikulostomi (drainase eksternal ventricular), walaupun resikonya dapat terjadi perdarahan berulang dan infeksi
b. Kronik
Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara temporer atau permanen seperti ventrikulo peritoneal shunt.

3.11. PROGNOSIS
Faktor yang paling penting dalam mempengaruhi hasil pada pasien dengan perdarahan subarachnoid adalah keadaan neurologis pada pasien tersebut ketika tiba di rumah sakit. Perubahan kondisi mental adalah kelainan yang paling umum, sebagian pasien tetap sadar, yang lain bisa kebingungan, delirium, amnestik, letargik, stupor atau bahkan koma. Hunt and Hess grading scale yang telah dimodifikasi berfungsi sebagai alat untuk mengukur resiko tingkat keparahan pada perdarahan subarachnoid yang didasari dari pemeriksaan neurologi yang pertama. Pasien yang diklasifikasikan sebagai perdarahan subarachnoid grade I atau II memiliki prognosis yang lumayan baik, grade III memiliki prognosis sedang, grade IV dan V memiliki prognosis jelek. Tanda-tanda neurologis fokal terjadi pada sedikit pasien tetapi dapat menunjukkan letak perdarahan, hemiparese atau afasia menunjukkan aneurisme pada middle cerebral arteri dan paraparese menunjukkan aneurisme pada cerebral arteri proximal anterior. Tanda-tanda fokal ini biasanya dikarenakan adanya hematom fokal yang besar, yang mungkin memerlukan tindakan gawat darurat.